AgamaArtikelBlog

BATIWAKKAL: SUATU SYARAHAN

Selalu ada kenikmatan tersendiri ketika mendengar orang-orang tua Berau bertutur dan berkisah. Kisahan mereka bisa didengar di warung-warung. Umumnya di waktu pagi. Itu sebabnya saya kadang-kadang berusaha menyempatkan makan nasi kuning di warung pinggir masjid asy-syahadah.  Dari cerita mereka, saya baru paham  bahwa kata batiwakkal itu diserap dari Bahasa arab; tawakkal.

Menurut para ahli, bahasa adalah penanda identitas suatu komunitas. Bahasa merupakan anasir peradaban yang sangat fundamental karena dia merupakan refresentasi alam pikiran. Jika teori ini dikaitkan dengan fenomena bahasa “batiwakkal” bisa dapat disimpulkan bahwa alam pikiran masyarakat berau sangat dipengaruhi dan  diwarnai oleha ajaran dan tradisi islam. Dengan kata lain, Islam telah menjadi pandangan hidup (worldview) masyarakat Berau. Dalam paradigma Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Islam dalam Bahasa Melayu, penyerapan ini menandai adanya proses islamisasi bahasa; bahwa yang diserap ke dalam bahasa Melayu tidak hanya kosakata teknis, tapi juga konsep atau kata kunci dalam Islam.

Dengan demikian, maka fenomena ini bukan khas Berau saja. Ini fenomena umum yang terjadi di dalam masyarakat melayu ketika Islam telah menjadi unsur penting yang membentuk budaya dan tradisi mereka. Buktinya, Bahasa Melayu mengandung banyak kosakata serapan dari Bahasa Arab Islam. Bahkan, oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI (2009), Machasin, mengatakan, keterpengaruhan bahasa melayu oleh bahasa Arab,mencapai kisaran 40%-60% dari seluruh kosakata. Ini terlihat dari penggunaan bahasa ini dalam sastra-sastra dan karya tulis di abad-abad kejayaan Islam Melayu.

Makna Batiwakkal

Karena kata batiwakkal diserap dari bahasa Arab, maka sangat penting memahami kata ini dari bahasa aslinya. Secara bahasa, akar kata ini adalah wakala; artinya menyerahkan atau  mewakilkan. Dari makna ini, kata tawakkal juga dapat dipahami dalam pengertian “menunjukkan ketidakberdayaan dan bersandar kepada orang lain”. Kata “bersandar” menunjukkan bahwa orang yang bertawakkal memiliki kepercayaan (tsiqah) kepada wakilnya. Jika analisis bahasa ini dikaitkan dengan Allah (tawakkal alallah) maka dapat disimpulkan bahwa tawakkal adalah mengembalikan segala urusan hanya kepada Allah sembari memperhatikan hukum-hukum kausalitas yang ditetapkan Allah di alam semesta. Salah satu sifat Allah adalah al-wakil (penolong), maka sangat pantas kita hanya bertawakall kepada-Nya (QS. Al-Ahzab: 3). Dengan demikian, tawakkal termasuk pangkal tauhid. Ketauhidan seseorang tidak akan pernah sempurna kecuali dengan bertawakkal kepada-Nya (QS. Hud: 123)

Dalam al-Quran, kata tawakall dalam seluruh bentuk derivasinya terulang sebanyak 70 kali. Ini menunjukkan bahwa tawakkal memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur ajaran Islam. Tawakkal adalah ibadah qalbiyyah (ibadah hati)yang paling tinggi. Karena menjadi penanda kedalaman pengenalan kepada Allah. Artinya semakin tinggi makrifah seseorang kepada Allah maka semakin kuat pula tawakkalnya kepada-Nya. Begitu sebaliknya. Itulah sebabnya tawakkal merupakan ciri eksklusif dari orang-orang yang beriman (lihat QS. Al-Maidah: 21, Al-Anfal: 21). Tawakkal juga merupakan akhlak para Nabi (QS. Ibrahim: 11-12, Al-Mumtahanah: 21).

Dalam kaidah akidah disebutkan bahwa segala urusan ada di tangan Allah. Semua makhluk ada dalam gengaman kekuasaan-Nya. Sementara itu, sampai pada satu titik tertentu, manusia pasti menyadari kelemahannya.  Kondisi itulah yang akan “memaksanya” untuk mengadu kepada Tuhan agar Dia berkenan memberikan pertolongan. Bahkan dalam suasana apapun manusia yang insaf akan selalu bertawakkal kepada Tuhan. Dengan demikian, tawakkal bersifat fitrah dan bisa dirasionalisasi berdasarkan fakta-fakta kemanusiaan.

 Tipe Ideal Warga Batiwakkal

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa ada beberapa yang mesti dilakukan agar tawakkal itu menjadi sempurna. Pertama; mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya. Pengenalan yang benar terhadap Tuhan akan mampu membuat manusia mampu menempatkan Tuhan dan dirinya secara adil. Relasi Tuhan dan manusia dalam Islam senantiasa dalam posisi bahwa Allah selamanya akan menjadi al-Wakil (Maha penolong) yang senantiasa selalu aktif dan terlibat mengurus makluk-Nya. Tuhan dalam Islam tidak pernah pension seperti keyakinan masyarakat Barat (dikenal dengan paham deisme). Sementara itu, manusia berposisi sebagai makhluk yang senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya. Jika aksioma ini dikaitkan dengan tipe ideal masyarakat batiwakkal, dapat dirumuskan secara meyakinkan bahwa warga batiwakkal yang ideal adalah warga yang pemiliki pengetahuan akidah yang benar tentang Tuhan, manusia dan alam serta relasi ketiganya. Ini merupakan tapak pertama menuju tawakkal

Syarat kedua, menetapkan adanya sebab-akibat (kausalitas). Dalam al-Quran, istilah kausalitas disebut dengan sabab (QS.Al-Kahfi: 84). Hamid Fahmi Zarkasy mendefinisikanya dengan segala sesuatu yang membawa pada, atau terkait dengan akibat. Namun sebab-akibat ini ditetapkan dalam kehendak Tuhan, karena Tuhan adalah sebab dari segala sebab (musabbibul asbab). Dengan kata lain, efektivitas sebab-sebab alamiah bisa ditangguhkan, dialihkan, ditahan sementara oleh Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Pemahaman yag benar mengenai konsep ini  akan menuntun manusia pada satu kondisi bahwa tawakkal mesti didahului oleh tindakan-tindakan aktual lagi profesional yang memperhatikan hukum-hukum sunnatullah, sembari tetap menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Kepasrahan total ini tetap  harus menyisakan ruang berbaik sangka kepada Tuhan.

Jika konsep di atas dikaitkan dengan tipe ideal warga batiwakkal, mengutip penjelasan dalam situs http://www.beraukab.go.id/profil/view/2/lambang, maka masyarakatnya tidak henti-hentinya melaksanakan tugas kewajibannya,lengkap, cukup baik dan sempurna dengan jalan diridhai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Jika masyarakat batiwakkal mampu menginternalisasi dan mengekternalisasi nilai-nilai batiwakkal secara ideal dalam kehidupan aktual, maka piala adipura selanjutnya hanyalah menunggu takdir dari al-Wakil.

Download Artikel ini

(Umar Hadi – Dosen Prodi Bisnis Digital UM Berau)